BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah.
Cina atau Tiongkok nama sekarangnya adalah Negara yang
sangat maju dengan pertumbuhan ekonominya paling tinggi di dunia, Tiongkok atau
Cina dapat mengalahkan Negara-negara yang terlebih dahulu maju, diantaranya adalah
German, Inggris, Japan dan bahakan Cina mampu mengalahkan Negara adidaya
Amerika yang biasanya selalu berada dalam urutan rangking teratas dalam hal
kemajuan dan pertumbuhan ekonomi.
Padahal apabila kita melihat sejarah dari Negara Cina, pada
abad ke 19an juga Cina hanyalah Negara biasa yang dipandang lemah, dimana Cina
merupakan Negara tujuan imperialism Negara-negara lain seperti Amerika,
Inggris, Prancis dan Jepang.
Akan tetapi sesudahnya terjadi revolusi pada tahun 1911,
yang mana berpindahnya kekuasaan dari
pemerintahan yang di pimpin oleh kaisar berganti kepada Negara yang menganut
republic, mulai Nampak terjadi perubahan kearah yang positif walaupun pada
dasarnya masih terdapat bnyak masalah, karena pemimpin-pemimpin revolusi pada
saat itu tidak bisa mendirikan pemerintahan yang kompak dan stabil, hingga
kemudian hal ini menimbulkan pemberontakan dimana-mana dan yang kemudian
mengakibatkan terjadinya revolusi yang kedua dan bahkan kemudian terjadi lagi
revolusi yang ketiga.
Tetapi sesudahnya terjadi revolusi yang ketiga yaitu pada
tahun 1949 situasi di Cina lebih menuju kearah yang lebih naik lagi, walaupun
kadang-kadang masih terdapat masalah-masalah. Tapi kemudian Cina pada thun 1950
mampu menjadi Negara dengan pertubuhan ekonomi tercepat di dunia. Hingga sampai
sekarang Negara Cina merupakan Negara yang sangat di perhitungkan dalam hal
kemajuan di bidang ekonomi. Bahkan menjadi salah satu Negara yang paling maju
di dunia dalam waktu yang sangat singkat.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
sejarah revolusi di Cina?
2.
Kebijakan-kebijakan
apa yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina sehingga Cina dapat berkembang dengan
pesat dalam waktu yang singkat?
C.
Tujuan.
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui seperti apa sejarah revolusi China.
2.
Untuk
mengetahui seperti apa kebijakan-kebijakan
apa yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina sehingga Cina dapat berkembang dengan
pesat dalam waktu yang singkat?
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH REVOLUSI CHINA
Sejarah
Revolusi di Cina.
Kehidupan
politik di China meripakan produk dari masa revolusi yang sangat panjang yang
berlansung paling tidak dari tahun 1911 sampai tahun 1949 dan meliputi tiga
perombakan system politik secara secara kekerasan (James R. Towsland, 1997:
173). Revolusi China terjadi pada tahun 1911, menggantikan system kekaisaran
yang telah berlangsung selama ribuan tahun dengan system pemerintahan republic.
Revolusi keduua terjjadi pada tahun 1928, ketika Kuomintang (KMT) berhasil
membentuk dan menguasai pemerintahan baru menggantikan pemerintahan “panglima
perang” (warlord) yang terpecah-pecah dalam masa permulaan pemerintahan
Republik China dengan system dominasi satu partai yang terogansir dan terpusat.
Revolusi ketiga terjadi pada tahun 1949 dengan berdirinya Republik Rakyat China
di bawah kekuasaan Partai Komunis China.
Revolusi Pertama
1911
Ketidakpuasaan bangsa China terhadap pemerintahan Dinasti
Qing terus memuncak sejak kekalahan China dalam perang candu tahun 1842. Sejak
saat itu banyak wilayah China yang menjadi wilayah pengaruh kekuasaan asing
baik bangsa Eropa, Amerika aupun Jepang. Keadaan ini seolah-olah menimbulkan
system Negara dalam Negara karena pengaruh bangsa asing yang adadi
wilayah-wilayah China masing-masing memiliki hak konsesi dan hak
ekstrateritorial. Secara politik dan ekonomi kehidupan bangsa China menjadi
semakin terpinggirkan akibat ketidakmampuan pemerintah Manchu mengatasi
masalah-masalah yang bermunculan berbagai macam gerakan yang pada intinya ingin
menumbangkan kekuasaan Manchu dan menggantikan dengan kekuasaan dari bangsa
China sendiri.
Diantara
berbagai gerakan yang bermunculan di China, salah satu pimpinan yang terkemuka
adalah SunYat Sen. Beliau merupakan tokoh yang nasionalis China yang dilahirkan
di desa Xiangshanxian di Propinsi Guangdong pada tanggal 12 November 1866. Sun
Yat Sen mendirikan organisasi Dongmenhui yang bertujuan untuk mengusir bangsa
Manchu, merebut kembali China bagi bangsa Tionghoa, dan mendirikan suatu Negara
yang berbentuk republic.
System
kekaisaran di China berahir setelah Sun Yat Sen mengobarkan revolusi pada tahun
1911 dan selanjutnya bercita-cita ingin menyatukan seluruh China dalam satu
pemerintahan yang didasarkan pada San Min
Chu (tiga sendi kedaulatan Rakyat), yaitu 1) Nasioanalisme, 2) Sosialisme,
dan yang 3) demokrasi. Revolusi nasioanal di bawah pengaruh Sun Yat Sen melecut
di wuchang pada tanggal 11 Oktober 1911. Pada tanggal 12 Februari 1912 kaisar
Xuangtong turun tahta setelah terjadinya revolusi Xinhai. Sebulan kemudian,
yaitu pada tanggal 12 Maret 1912 berdirilah Republik China (ROC). Namun
demikian kedudukan Sun Yat Sen sebagi presiden segera digantikan oleh Yuan Shih
Kai, seorang Warlord (panglima perang) yang sangat berpengaruh. Yuan segera
mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup, sementara Sun Yat Sen
mengundurkan diri ke Kanton dan mendirikan Partai Koumintang (Nasionalis).
Yuan
Shih Kai berkuasa antara tahun 1911-1916. Pada tahun 1915 ketika bertemu dengan
golongan oposisi yang mengambil bagian dalam Revolusi republik, Yuan merasa
bahwa ideology republic lebih bertahan lama daripada ambisi pribadi. Ia
meninggalkan republic dan mengumumkan restoorasi Kekaisaran China dan
mengangkat dirinya sebagai Sang Kaisar. Akibatnya sebagaian besar Propinsi di
China selatan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan Beijing. Setelah Yuan
Shih Kai menumumkan dirinya sebagai kaisar baru di China terjadi revolusi
terbuka yang dilancarkan di propinsi-propnsi China. Propinsi Yunnan menjadi
propinsi petama yang melancarkan revolusi dan diikuti oleh propinsi-propinsi
lainnya.
Pada
tahun 1916 Yuan Shih Kai wafat, dan meninggalkan kekacauan terutama di wilyah
China utara karena Yuan belum menunjuk seseorang untuk menggantikan dirinya.
Akibatnya terjadi perpecahan di antara para panglima Tentara China Utara.
Masaing-masing mengirimkan kepentingan pribadi dan membentuk kelompok-kelompok
sendiri. Beberapa kelompok yang penting adalah kelompok Fng Tian di bawah
pimpinan Zhang Zo Lin di Manchuria, kelompok Zhi Li di Tian Jin di bawah
pimpinan Zhao Kun dan di propinsi Hunnan di bawah pimpinan Wu Pei Hu, dan kelompok An FU
di bawah Pimpinan Qi Rui.
Periode
warlordisme bisa dibagi dalam dua bagian, yaitu jaman sebelum tahun 1920 dan
sesudah tahun 1920. Pada masa sebelum tahun 1920 golongan panglima perang berada dalam
kedudukan yang kuat di samping kedudukan kerajaan pusat yang lemah.
Kelompok-kelompok panglima perag sebenarnya mempunyai banyak perasamaan, namun
aspirasi dan sikap mereka yang berbeda membuat kelompok-kelompok ini sulit
bersatu.
Revolusi kedua
(1928)
Yuan
Shih kai meninggal dunia mewariskan kesimpangsiuran perundang-undangan dan
angkatan bersenjata Tentara china Utara tanpa seorang panglima yang diakui
sebagai pemimpinnya. Akibatnya era 1916-1928 di China dikenal sebagi periode
warlordisme atau periode para jendral perang. Selama masa ini para warlord saling berperang untuk mendapatkan pengaruh
kekuasaan.
Sementara
itu di wilayah China Selatan Sun Yat Sen masih memiliki pengaruh yang besar. Ia
diangkat sebagai kepala pergerakan republic dan menjadbat sebagi Presiden
sampai pada tahun 1925 ketika beliau wafat. Selanjutnya beliau (Sun Yat Sen)
digantikan oleh Jendral Chiang Kai Shek.
Selama
masa pemerintahannya ini, pada tahun 1928 Chiang Kai Shek berhasil menaklukan
para warlord dan selanjutnya
menyatukan China di bawah pemerintahan Kuomintang melalui ekspedisi Utara pada
tahun 1926-1928. Dalam upaya menaklukan para warlord pasukan Kuomintang bekerjasama
dengan Partai Komunis China.
Rencana
operasi militer Ekspeedisi Utara disusun oleh seorang penasihat militr Uni
Soviet Jendral Vaseli Blucher. Ekspedisi ini bertujuan untuk merebut dua kota
besar yaitu Nanking dan Shanghai. Dii amping kekuata militer, Jendral Blucher
juga menggunakan para kader komunis. Mereka memulai gerakannya dengan
memengaruhi serta menggalang kaum buruh dan tani setempat untk mrnjafi
pendukungnya. Dalam waktu singkat berbagi kota besar di tepi sungai Yan Tze
berhasil direbut. Jendral Blucher menduduki Han Gou dan Wu Han, diikuti
golongan sayap kiri Kuomintang. Bahkan pada 1 januari 1927 ibukota nasionalis
dipinndah dari Kanton ke Wu Han.
Chang
Kai Shek juga berhasil merebut berbagai kota besar di sebelah timur,
diantaranya Nanking, yang selanjutnya dijadikan markas besarnya. Sejak saat itu
seolah-olah nasiobalis China punya dua ibuota yaitu Wu han yang di dominasi
oleh sayap kiri dan Nanking yang didominasi sayap kanan. Pada tanggal 10
oktober 1928 Chiang Kai Shek diangkat menjadi presiden Republik China di
Nanking. Selanjutnya Chiang mengorganisasikan angakatan perang yang disebut
tentara revolusi nasional.
Perang China Jepang II
Perang
China jepang dua terjadi pada tahun 1937, merpukan perang besar antara China
dan Jepang sebelum pecahnya perang dunia II. Sejak tahun 1932 wilayah Manchuria
diduduki oleh tentara Kekaisaran Jepang. Pada tahun 1936 Letnan Jendral Hideki
Tojoj mendesak pemerintah Jepang untuk menguasai China denagn kekerasan
senjata. Diawali dengan insiden di sekitar jembatan marcopolo yang terletak di
utara kota Beijing merambat menjadi serangan Jepang terhadap kubi-kubu
pertahanan tentara China. Dilanjutkan dengan peristiwa penculikan Chiang Kai
Shek di Xi An, sehingga memunculkan persatuan pemerintah Nasionalis dengan PKC
dalam Front Persatuan Nasional untuk menghadapi agresi militer Jepang.
Pada
Agustus 1937 jepang memperluas peperangan dengan menciptkan bentrokan
bersenjata di Shang Hai yang dijadikan sebagai alas an untuk mengerahkan
angakatan lautnya untuk menyelamatkan kepentingan jepang di Shang Hai. Dalam
waktu 3 minggu Shang hai berhasil diduduki dan menyambut sengketanya dengan
china dengan sebutan “peristiwa China”.
Pada 13
Desember 1937, Nanking, ibukota China jatuh ke tangan jepang, menandai
kekalahan yang pahit bagi China. Selama delapan tahun Jepang menduduki Nanking
dan membentuk sebuah pemrintah boneka yang terdiri dari kolaborator-kolaborator
China, antara lain Wang Qing Wei yang kemudian diangkat sebagai ibu kotanya.
Negra boneka Manchuria merupakan Negara pertama yang memberikan pengakuan
kedaulatan terhadap Republik China di bawah pimpinan Wang Qing Wei.
Untuk
menghadapi Jepang , PKC dan KMT berkolaborasi membentuk Front persatuan. Namun
dalam Front tersebut Mao menolak di bawah pengaruh KMT dan menentang instruksi
dari kemintern. Selama aliansi pada tahun 1937 sampai 1945 Mao tetap mengontrol
Tentara Merah dan daerah-daerah yang sudah di bebaskan. Penduduk yang di bawah
komando Tentara Merah meningkat dari 2 juta menjadi 95 Juta, begitu juga dengan
pasukan merah jumlahnya meningkat dari 30.000 menjadi hamper satu juta jiwa.
Saat awal aliansi dengan KMT, PKC memanfaatkan kesempatan untuk beroperasi di
kota-kota dan banyak aktifis PKC yang mendekam dalam penjara dibebaskan.
Revolusi ketiga
1949.
Setelah perang China-jepang berahir pda tahun
1945 dengan kekalahan Jepang dalam perang dunia II, pertikaian antara PKC dan
Kuomintang kembali memanas. Setelah kekalahan Jepang, pemerintah Republik China
segera menintruksikan kepada segenap
jajarannya untuk mengambil alih kedudukan tentara Jepang di seluruh
pelosok wilayah China. Sementara Zhu Te, panglima Angkatan Bersenjata PKC
mengeluarkan perintah agar sebagian Tentara Merah memasuki Manchuria dan
menuntut pada pemerintah China supaya pelucutan Senjata terhadap bekas tentara
pendudukan tentara Jepang di daerah yang dikuasai Partai Komunis supaya dilakukan Unsur Partai
Komunis.
Ketika
itu tentara merah menguasai daerah pedusunan yang amat luas sehingga
menimbulkan kekhawatiran pihak Pemerintah China. Oleh karena itu Pemerintah
China meminta bantuan AS untuk membantu menyellesaikan masalahnya di China.
Presiden Truman berusaha menghindarkan perang saudara di China dengan mengutus
Jendral George Marrshall untuk bertindak sebagai perantara bagi sengketa antara
Pemerintah Nasionalis dengan Partai KOmunis China. Salah satu yang direncanakan
adalah pelaksanaan peleburan tentara kedua belah pihak menjadi satu Tentara
Nasional. Namun sepeninggal Marshall pertempuran antara Pemerintah Nasionalis
dengan Partai Komunis Cina (PKC) kembali terjadi dengan skala yang semakin
meluas. Upaya perdamaian kembali dilakukan oleh Marshall tetapi gagal.
Meski awalnya banyak mengalami kekalahan tetapi Tentara
Merah semakin dapat memperluas pengaruhnya di daerah pedesaan, melalui politik land
reformdari PKC. Tanah-tanah milik tuan tanah diambil dan menghadiahkan
tanah-tanah garapan tersebut kepada kaum tani penggarap. Tentara merah
menguasai wilayah China Utara segera mengerahkan sasarannya ke sebelah selatan
sungai Yang Tze. Selanjutnya mereka merebut
Nanking, ibukota Pemerintah Nasionalis China. Akibatnya pemerintah
Nasionalis China terpaksa harus memindahkan ibukotanya ke Kanton. Selanjutnya Hangou,
Shanghai dan Qingdao secara berturut-turut jatuh kr tangan komunis.
Setelah separo wilayah China berada di tangan kaum komunis
maka Mao Tse-tung mulai mempersiapkan pembentukan suatau Negara China
sebagaimana dicita-citakan oleh partai Komunis. Langkah awal adalah denagn
membentuk Panitia Peersiapan Majelis Permusyawaratan Politik. Panitia ini
berhasil memilih 22 orang untuk menjabat sebagai Dewan Harian dengan Mao
Tse-Tung sebagai ketua dan Chou Enlai sebagai wakilnya.
Denagn strategi “Desa mengepung kota”, PKC berhasil
menyingkirkan Kuomintang dan pada tanggal 1 Oktober 1949 memproklamasikan
berdirinya Republk Rakyat China (RRC) yang beribukota di Beijing. Bendera
Nasional RRC berwarna merah yang melambangkan revolusi dengan empat bintang
kecil-kecil berwarna kuning di bagian pojok atas yang masing-masing
melambangkan klas buruh, klas tani, klas borjuis kecil, kelas borjuis nasional,
dan sebuah bintang besar berwarna kuning yang dilingkari oleh empat bintang
kecil tersebut di atas, yang melambangkan kepemimpinan Partai Komunis. Pemimpin
tertinggi tentara RRC berada di tangan Zhu De, sedangkan jabatan Perdana Mentri
merangkap Mentri Luar Negri dipegang oleh Chou Enlai.
Pada tanggal 14 Oktober Kanton berhasil dikuasai oleh Tentara
Merah, sehingga pemerintah Nasiioanalis terpaksa pindah ke Chongqing. Namun
pada tanggal 28 November 1949 Chongqing juga jatuh ke tangan Tentara Merah.
Selanjutnya Propinsi Yunnan dan Hainan berhasil dikuasai oleh Komunis, sehingga
pemerintah nasionalis tidak mempunyai lagi wilayah di China daratan.
Pemerintahan Chiang Kasi Shek melarikan diri ke Taipe yang terletak di Pulau
Formosa (Taiwan). Pada tanggal 1 maret 1950, China memangku kembali jabatannya
sebagai presiden Rebublik China
Setelah
pernyataan berdirinya Republik Rakyat China, Uni Soviet segera memberikan
pengakuan kedaulatannya atas RRC dan memutuskan hubungan diplomatiknya dengan
pemerintahan Nasionalis China. Negara-negara satelit Uni Soviet ikut menyatakan
pengakuan kedaulatan bagi RRC. India merupakan Negara pertama di luar blok
Soviet yang mengakui kedaulatan RRC. Tepatnya pada tanggal 30n Desember 1949.
Pada tanggal 6 January 1950 Inggris menyatakan pengakuan kedaulatan terhadap
RRC sehingga Inggris merupakan Negara demokratis Barat pertama yang mengadakan
hubungan dengan pemerintahan komunis China.
KEBIJAKAN
PEMERINTAH CHINA DALAM HAL EKONOMI, POLTIK, DAN KEHIDUPAN SOSIAL
Kebijakan Ekonomi
Masa
pembangunan kembali.
Pada masa-masa awal menjabat
tahun 1949 PKC sangat penuh kepercayaan diri mampu membawa China kepada China
yang baru. Hal itu dikarenakan partai sangat disiplin dan berpengalaman
berjuang bersama rakyat. Akan tetapi banyak kesulitan yang tidak dikira
sebelumnya, yang membuat system baru berjalan dengan lambat. Kesulitan-kesulitan
itu diantaranya:
Perang China-Jepang dan perang saudara yang mengakibatkan
ekonomi rusak dan terjadi inflasi, oleh karena itu selama beberapa tahun Partai
Komunis China lebih memusatkan perhatiannya pada perbaikan pabrik-pabrik,
perbaikan fasilitas-fasilitas umum, perbaikan di bidang transportasi,
mengendalikan inflasi, dan mengendalikan pengeluaran pemerintah. Hasilnya pada
ahir tahun 1952 Cina sudah mampu mengembalikan ekonomi mereka sama seperti
dahulu sebelum terjadinya peperangan.
Masalah penting yang kedua adalah bahwa PKC belum siap dalam
mengambil alih kekuasaan atas seluruh system politik tahun 1949. Memang kaum
kounis punya banyak pengaman yang luas dalam pemerintahan pedesaan, tetapi
kebanyakan pengalaman itu hanya mengenal kondisi- kondisi semasa perang, mereka
tidak cukup terlatih untuk menangani tugas yang bermacam-macam dan rumit dalam
masa pembangunan kembali seluruh Negara.
Dalam keadaan seperti ini memaksa para pemimpin baru
menerima penyelesaian yang bersifat sementara, seperti berlakunya
peraturan-peraturan yang lama, dan banyak memanfaatkan para pejabat-pejabat
yang lama. Akibatnya adalah PKC terpaksa menunda dibentuknya struktur yang
baru.
Dalam keadaan seperti ini memaksa para pemimpin baru
menerima penyelesaian yang bersifat sementara, seperti berlakunya
peraturan-peraturan yang lama, dan banyak memanfaatkan para pejabat-pejabat
yang lama. Akibatnya adalah PKC terpaksa menunda dibentuknya struktur yang
baru.
Rencana
Pembangunan Lima Tahun Pertama, 1953-1957
Sejak Republik Rakyat Cina
berdiri telah banyak meniru model Uni Soviet. Pemerintah Mao mencanangkan
program rencana pembangunan lima tahun I (repelita) tahun 1953-1957 dan dalam
periode ini juga terdapat kecenderungan mengurangi tindakan kekerasan dalam
kehidupan politik. Pada tahun 1953 industrialisasi dan repelita pada dasarnya
merupakan rencana untuk pengembangan industry berat. Pada saat yang sama partai
komunis juga mengumumkan awal transisi China untuk sosialisme.
Selain pertimbangan ideologis,
Uni Soviet dijadikan model karena keberhasilan Uni Soviet setelah Perang Dunia
II dalam menjalankan strategi pembangunan yang menekankan pembangunan industri
berat. Uni Soviet juga merupakan satu-satunya negara yang memberikan pinjaman
modal kepada China. Bantuan ekonomi dan teknisi Soviet mulai mengalir ke China
dengan penandatanganan perjanjian pershabatan, aliansi dan mutual Sino-Soviet
pada bulan Februari 1950. Uni soviet membantu 156 proyek. Bantuan yang
diberikan meliputi modal, bidang teknis dan desain, nasehat mengenai
konstruksi, dan bantuan mesin.
Untuk mengendalikan sumber-sumber
daya ekonomi yang diperlukan bagi investasi industri secara besar-besaran, para
pemimpin dengan cepat menciptakan program ekonomi terencana dan terpusat,
termasuk pertanian. Pada akhir tahun 1956 semua pemilikan pertanian dimasukkan
dalam sistem kolektif, dan sosialisasi ekonomi telah dirampungkan. Hasil-hasil
ekonomi dari usaha-usaha repelita I begitu mengesankan, perkiraan yang ada
menempatkan China dalam ranking internasional yang tinggi dalam hal pertumbuhan
ekonomi selama periode ini.
Akan tetapi ketika penekanan partai mulai berpindah ke
masalah pertumbuhan ekonomi dan kemajuan materil, mulai muncul kembali
ketegangan-ketegangan politik dibarengi dengan perdebatan-perdebatan intra-partai
mengenai strategi pembangunan Cina.
Masalah pokok yang diperdebatkan adalah perimbangan yang
wajar antara perindustrian dengan pertanian dan bagaimana cara mencapainya.
Para elite PKC sepakat bahwa industrialisasi harus dijalankan, tetapi mereka
juga mengakui bahwa pertanian dan industry ringan sangatlah lemah apabila
dibandingkan dengan industry berat.
Nasionalisasi Perusahaan
Pada bulan Juli 1955 Mao
memerintahkan dipercepatnya pembukaan lahan-lahan pertanian kolektif dan bulan
November mengumumkan bahwa semua industri dan perdagangan yang selama ini
ditangani swasta harus dinasionalisasi. Teorinya: negara adalah pemilik
perusahaan yang bekerja sama dengan mantan pemilik perusahaan terkait yang
selama 20 tahun ke depan hanya boleh memiliki 5% dari nilai perusahaan mereka.
Para bekas pemilik perusahaan tetap bekerja sebagai manager dan digaji cukup
tinggi, tetapi di atas mereka ada seorang pejabat partai.
Di setiap perusahaan dibentuk
sebuah kelompok yang terdiri atas anggota-anggota tim kerja, wakil-wakil
pekerja dan wakil-wakil manajemen. Mereka bertugas menilai aset perusahaan
terkait agar negara bisa membelinya dengan harga pantas. Tim tersebut sering
mengusulkan harga yang sangat rendah untuk meyenangkan negara.
Komune Rakyat
Pada tahun 1958 diumumkan
berdirinya Komune Rakyat (renmin gongshe), yaitu wadah kolektivitas
produksi pertanian dengan skala besar. Seluruh China dikelompokkan menjadi
unit-unit baru, masing-masing terdiri atas 2000 – 20.000 rumah tangga. Dengan
sistem ini rakyat menjadi lebih mudah dikendalikan karena petani harus hidup
dalam suatu sistem yang diorganisir dan tidak dibiarkan berinisiatif sendiri.
Komune rakyat menjalankan
beberapa fungsi penting (I. Wibowo, 2000: 139). Pertama, komune
menyelenggarakan administrasi di tingkat pedesaan, meliputi administrasi
kelahiran, kematian, perkawinan. Kedua, komune juga merupakan unit produksi.
Negara memobilisasikan petani untuk menghasilkan bahan makanan untuk penduduk
kota dan bahan baku untuk industry di kota. Negara memaksa petani untuk
menyerahkan tanah, alat-alat pertanian, dan hewan kepada komune. Petani diberi
petunjuk tentang cara-cara mengolah tanah dan diperintahkan untuk menanam lebih
rapat dalam kampanye susul menyusul. Ketiga, komune merupakan unit yang
menyelenggarakan pendidikan dan kesehatan. Banyaknya fungsi yang dijalankan,
komune merupakan sebuah organisasi besar dan kompleks yang mengatur hampir
semua segi kehidupan warga komune. Komune menjadi pemerintah lokal yang
multifungsi.
Petani yang menjadi anggota
komune memperoleh jaminan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Di
dalam komune terdapat istilah “lima garansi” (wu baohu). Lima garansi
merupakan sokongan dari komune untuk orang-orang tua yang tidak mempunyai anak
yang dapat menyokong hidup mereka. Kelima sokongan itu meliputi: makanan,
pakaian, pengobatan, rumah, dan biaya penguburan.Rezim komunis juga melarang
orang makan di rumah. Setiap petani harus makan di kantin komune.
Warga komune harus tetap tinggal
di komune masing-masing artinya setiap orang harus mendaftarkan tempat
tinggalnya. Untuk kepentingan ini maka dikeluarkan system „kartu tanda
identitas‟ atau hukou. Hanya mereka yang terdaftar sebagai penduduk
mendapat jatah makanan. Mereka berada di bawah pengawasan kader-kader yang
dikoordinir oleh Komite Partai dan partai cabang. Tujuannya agar petani
menghasilkan surplus pertanian untuk mendukung industrialisasi. Pada masa
lompatan jauh ke depan petani kehilangan hak atas sawahnya. Sawah dikerjakan
bersama menurut rencana yang ditetapkan dari pusat. Petani bekerja tetapi tidak
mempunyai kontrol atas hasil kerjanya. Komunelah yang menetapkan besarnya
konsumsi mereka dan surplus hasil pertanian dikirimkan ke kota.
Mao menjejalkan aneka slogan.
Para petani harus “menggali lebih dalam” untuk meningkatkan hasil.
Ladang-ladang harus bebas dari “empat makhluk jahat” yaitu burung, tikus,
serangga, dan lalat. Maka sepanjang tahun 1958-1960 jutaan serangga, tikus,
lalat, dan burung dibantai. Upaya tersebut ternyata mengalami kegagalan. Para
petani yang menggali lebih dalam belum sempat memetik hasil ketika mereka jatuh
kelelahan. Punahnya burung berdampak pada terganggunya keseimbangan alam
sehingga belakngan burung dikeluarkan dari daftar “empat makhluk jahat”. Para
pejabat sadar bahwa ambisi Mao terlalu utopis. Tetapi karena takut mereka
menberi laporan Asal Bapak Senang. Angka produksi digelembungkan, data dan foto
hasil panen direkayasa sementara kenyataannya para petani menderita. Sepanjang
tahun 1958-1961 tidak kurang dari 30 juta orang petani meninggal karena
kelaparan.
Gerakan
Lompatan Besar ke Depan (Great leap Forward)
Mao ingin mewujudkan China
menjadi kekuatan modern kelas satu di mata dunia. Metode dan strategi
pembangunan diubah, tahap-tahap pembangunan China tetap Mao mencanangkan
kampanye ini pada bulan Mei 1958, tujuannya membangkitkan ekonomi Tiongkok
melalui industrialisasi secara besar-besaran dan memanfaatkan jumlah tenaga
kerja murah. Kepada rakyat disampaikan bahwa sasaran dari kampanye Lompatan
Besar ke depan adalah mengungguli semua negara kapitalis dalam waktu singkat
dan menjadi salah satu negara paling kaya, paling maju, dan paling berkuasa di
seluruh dunia. Program industrialisasi tersebut akan dicapai dalam waktu
sepuluh sampai lima belas tahun. Mao menyebut baja sebagai pilar industri dan
memerintahkan untuk meningkatkan produksi baja dua kali lipat dalam waktu satu
tahun, dari 5,35 juta ton pada tahun 1957 menjadi 10,7 juta ton pada tahun
1958. Mao merahasiakan sisi militer dari program tersebut,
Slogan Lompatan Besar ke Depan
adalah „berjalan di atas 2 kaki‟ dan „kemandirian pembangunan bersama industry
dan pertanian‟ mencerminkan penerapan teknologi ganda: teknologi modern dan
tradisional. Untuk mengembangkan industri baja tersebut Mao tidak mempekerjakan
tenaga ahli, tetapi Mao memutuskan untuk menggerakkan seluruh rakyat untuk
berpartisipasi dalam gerakan lompatan jauh ke depan. Para ahli yang mencoba
berbicara dengan akal sehat dihukum mati. Dalam program ini Mao mengesampingkan
rasionalitas. Pabrik baja dan industri terkait seperti tambang batu bara
diperintahkan bekerja habis-habisan untuk untuk memperbesar produksi.
Pabrik-pabrik tersebut tidak mampu mencapai target seperti yang ditetapkan Mao,
sehingga Mao memerintahkan untuk membangun tanur rakyat. Rakyat dipaksa untuk
menyerahkan semua benda logam yang mereka miliki, seperti alat-alat pertanian,
alat masak-memasak, pegangan pintu, tempat tidur besi, dan sebagainya, untuk
dicairkan dan dilelehkan. Gunung-gunung digunduli, pohon-pohon ditebang untuk
dijadikan kayu bakar. Bagi setiap unit diberikan kuota produksi baja, akibatnya
masyarakat banyak menghentikan kegiatan rutin mereka selama berbulan-bulan
hanya untuk memenuhi kuota.
Kegiatan pertanian dilaksanakan
bersama-sama secara serentak, pertanian perorangan dilarang, penduduk
ditempatkan dalam kelompok-kelompok besar beranggotakan ribuan orang dan
dipaksa bertani dengan disiplin militer. Pada tahun 1958 diadakan perlombaan
antar kelompok pertanian di seluruh China, yang berpenghasilan terbesar
dianggap sebagai komunis teladan. Akibatnya setiap kelompok bersumpah untuk
menhasilkan panen melebihi hasil ketetapan, dan pada panen berikutnya mereka
mengumumkan penghasilan yang lebih. Padahal angka ini sebenarnya angka-angka
palsu. Akibat perhitungan palsu tersebut maka Partai Komunis beranggapan bahwa
persediaan gandum dan beras telah melebihi batas, sehingga ke depan China harus
mengedepankan mata pencaharian lainnya. Puluhan juta petani dikerahkan untuk
pembangunan prasarana, jam kerja pabrik dilipatgandakan, bahkan mesin tidak
boleh dimatikan meski hanya untuk perawatan.
Petani harus bekerja lebih keras
dan jauh lebih lama dari sebelumnya. Mao mengerahkan tenaga dalam jumlah yang
sangat besar untuk membangun jaringan irigasi yang meliputi bendungan, waduk,
dan kanal. Dalam waktu empat tahun sejak 1958 diperkirakan hampir seratus juta
petani diperintahkan meninggalkan pekerjaan di tanah pertanian untuk bekerja
dalam proyek-proyek itu. Proyek-proyek besar tersebut dikerjakan dengan
peralatan yang seadanya, sehingga dalam pembangunannya banyak proyek yang
berhenti di tengah jalan. Pembangunan tersebut juga memakan korban besar di
desa-desa. Lompatan jauh ke depan mengakibatkan salah satu bencana ekonomi yang
direncanakan yang terbesar pada abad ke-20.
Faktor-faktor yang menyebabkan
kegagalan gerakan ini adalah:
1.
tenaga
kerja produktif di bidang agraris ditransfer seluruhnya ke bidang industri
menyebabkan kurangnya tenaga petani yang menanam tanaman untuk stok bahan
pangan.
2.
Angka-angka
statistik yang dilambungkan dan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Faktor ini menyebabkan petinggi Beijing mengira bahwa program ini sangat sukses
yang selanjutnya menuai bencana yang lebih besar, berupa bencana kelaparan yang
terbesar sepanjang sejarah. Empat puluh juta jiwa mati dalam waktu dua tahun.
3.
Rakyat
yang dipekerjakan masih terlalu awam sehingga baja yang dihasilkan berkualitas
rendah.
4.
Penggunaan
bahan bakar untuk memacu industri begitu besar jumlahnya sehingga mengakibatkan
kekurangan bagi bidang lainnya.
Gerakan Lompatan Besar ke Depan
memicu perpecahan serius di jajaran pimpinan sejak komunis mengambil alih
kekuasaan satu dekade sebelumnya. Mao menyerahkan jabatannya sebagai kepala
Negara kepada Liu Shaoqi. Pada bulan Juni 1959 dilangsungkan Konferensi khusus
di Lushan. Menteri Pertahanan Peng De Huai mengkritik apa yang terjadi dalam Lompatan
Besar ke Depan dan merekomendasikan pendekatan realistis dalam bidang ekonomi.
Peng kemudian dianggap sebagai orang kanan yang oportunis, Mao menyebutnya sebagai
kaki tangan kapitalis. Peng dipecat sebagai Menteri Pertahanan, dihukum tahanan
rumah dan dikirim ke Sichuan untuk dipensiun dini sebagai pejabat rendah.
Setelah itu Lompatan Besar ke
Depan terus berlanjut dengan ekses-ekses yang semakin gila. Tujuan-tujuan
ekonomi yang tidak mungkin dicapai diperintahkan dari atas. Semakin banyak
petani dimobilisasi untuk membuat baja. Semakin banyak perintah yang tidak
jelas menyebabkan kekacauan di pedesaan.
Tahun 1960-an bencana kelaparan
meluas ke seluruh China. Banyak orang terserang busung lapar, kebanyakan adalah
kaum petani. Di pedesaan bencana kelaparan lebih parah karena mereka tidak
mendapat ransum bahan makanan. Kebijakan pemerintah adalah mendahulukan orang
kota. Para pemimpin komune menyita beras dari para petani. Di banyak daerah
petani yang berani menyembunyikan bahan pangan ditangkap, dipukuli dan disiksa.
Akibatnya di seluruh Cina berjuta-juta petani yang seharusnya menjadi tulang
punggung produksi bahan makanan mati kelaparan. Pemerintah Beijing mengumumkan
program ini menyebabkan kematian tidak wajar sekitar 21 juta orang lebih.
Lembaga-lembaga non pemerintah lainnya juga mengeluarkan statistik yang tidak
jauh berbeda, sekitar 20 juta orang lebih meninggal karena kelaparan.
Di awal tahun 1961, kematian
puluhan juta rakyat akhirnya memaksa Mao menghentikan kebijakan-kebijakan
ekonominya. Mao melepaskan jabatannya sebagai presiden RRC dan memberikan
kekuasaan lebih besar atas China pada Presiden Liu yang pragmatis dan Deng
Xiaoping, sekjen partai.
Kebijakan Politik
Kampanye
Seratus bunga Berkembang dan Kampanye Anti Kanan
Pada tahun 1956 Mao mengumumkan
kebijakan Seratus Bunga Berkembang, yang diambil dari ungkapan “biarkan seratus
bunga mekar dan seratus aliran bersaing suara” yang secara teori berarti
kebebasan yang lebih besar dalam bidang seni, sastra, dan riset ilmiah. Partai
ingin mendata dukungan dari rakyat Cina yang terpelajar yang dibutuhkan oleh
negara dan mengajak para intelektual untuk mengemukakan pendapatnya terhadap
perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di China pada saat itu. Sebenarnya
kebijakan ini muncul karena kekhawatiran Mao dengan situasi yang terjadi di
Hongaria. Pada tahun 1956 sekelompok intelektual Hongaria membentuk Lingkaran
Petofi (Petofi Circle) yang memberikan kritik kepada pemerintahan
Hongaria. Mereka juga aktif berpartisipasi di berbagai forum dan perdebatan.
Kelompok ini mencetuskan gerakan revolusi nasional Hongaria, tetapi akhirnya
berhasil ditumpas oleh tentara Soviet (Roy Medvedev, 1986:76).
Di bawah kebijakan seratus bunga
selama kira-kira satu tahun seluruh negeri menikmati keadaan yang relatif
tenang. Pada tahun 1957 partai yang paling tinggi. Mao Tse Tung mendorong para
penulis untuk berbicara mengenai masalah-masalah dalam masyarakat baru. Pada
awalnya terdapat keengganan, namun kemudian banyak bermunculan dalam artikel
surat kabar, film, dan karya sastra mengenai masalah birokratisme dan
otoriterisme dalam partai. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan Mao juga
menyampaikan hal lain, yaitu „memancing ular keluar dari sarangnya‟ untuk
mengetahui siapa saja orang-orang yang berani menentang rejimnya. Mao melihat
bahwa sebagian besar orang Cina yang terpelajar mendukung liberalisasi dan
pemerintahan yang moderat.
Kebijakan meminta kritik sebenarnya
hanya merupakan perangkap untuk memastikan bahwa ia berhasil membuka kedok
orang-orang yang dicurigai akan menjadi pemberontak. Mao menyadari bahwa muncul
banyak ketidakpuasan dari kaum intelektual. Setelah berbagai kritik masuk ke
pemerintah Mao segera mengeluarkan kebijakan baru, yaitu kebijakan anti kanan.
Pada awal Juni 1957 pidato Mao
mengenai memancing ular keluar dari sarangnya disampaikan ke tingkat bawah. Mao
menyatakan bahwa orang-orang kanan telah mengamuk dan menyerang partai komunis
dan sistem sosialis Cina. Dalam pemikiran Mao, orang kanan terdiri atas 1-10%
orang-orang terpelajar dan mereka harus dilenyapkan. Untuk menyederhanakan
pelaksanaannya ditentukan angka 5% sebagai kuota untuk jumlah orang kanan yang
harus ditangkap (Jung Chang, 2005: ).
Dicap kanan berarti dikucilkan
dari dunia politik dan kehilangan pekerjaan. Anak-anak dan keluarga dari „orang
kanan‟ akan mengalami diskriminasi dan akan kehilangan masa depan mereka.
Komite kawasan tempat tinggal akan memata-matai seluruh anggota keluarga orang
kanan untuk mengetahui siapa saja yang mengunjungi mereka. Bila „orang kanan‟
dikirim ke pedesaan untuk menjalani hukuman, maka para petani akan memberikan
pekerjaan yang paling berat.
Kampanye anti kanan tidak
mempengaruhi rakyat secara keseluruhan. Para petani dan buruh tetap hidup
seperti biasa. Semua intelektual yang mengkritik partai dituduh beraliran
kanan. Tuduhan ini sama artinya dengan kontra revolusi yang mengakibatkan bahwa
para tertuduh pantas untuk mendapatkan hukuman berat. Setelah satu tahun
dilaksanakan dan kampanye anti kanan berakhir, diperkirakan sedikitnya 550.000
orang dicap sebagai kaum anti kanan, yaitu mahasiswa, guru, penulis, artis,
ilmuwan, dan para profesional lainnya. Banyak di antara mereka yang dipecat sehingga
kehilangan jabatan di pemerintahan dan dijadikan buruh kasar di pabrik-pabrik
atau daerah pertanian, maupun dikirimkan ke kamp-kamp kerja paksa. Mereka dan
keluarga mereka kemudian hidup sebagai warga negara kelas dua. Di antara mereka
yang dibuang, banyak yang melakukan bunuh dir atau tewas dalam perjalanan.
Kampanye ini telah merusak moral dan kepercayaan diri serta karier para
intelektual, namun juga merusak keluarga mereka.
Revolusi Kebudayaan (Cultural
Revolution)
Revolusi Kebudayaan Proletar
merupakan periode paling penting dalam politik China setelah tahun 1949.
Revolusi ini merupakan kampanye yang paling besar. Kehidupan di kota-kota besar
berhenti, produksi juga berhenti. Banyak bangunan dan gedung yang rusak,
termasuk kelenteng, gereja dan masjid. Jumlah korban manusia diperkirakan
sebesar 729.511 jiwa. Pada tahun 1978 ketika Deng Xiaoping mengumumkan
kebijakan merehabilitasi korban Revolusi Kebudayaan, tercatat sedikitnya
300.000 orang yang menjadi korban tuduhan palsu. Deng Xiaoping sendiri yakin
bahwa ada 2,9 juta orang mengalami berbagai macam penganiayaan selama kampanye
tersebut (James Wang, 1985:30).
Revolusi kebudayaan merupakan
gerakan politik nasional yang diorganisir dan dipimpin oleh sekelompok elite
politik di bawah pimpinan Mao Tse-tung. Revolusi tersebut berusaha menguji
semua pejabat, khususnya para pejabat tinggi, memperbarui dan membersihkan
mereka yang tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Mao. Dalam pandangan Mao banyak
pemimpin menjadi borjuis dan korup. Jadi revolusi kebudayaan dipandang sebagai
kampanye pembetulan dan sebagai kampanye massa untuk perjuangan kelas dalam
menyelesaikan kontradiksi antara kaum proletar dan borjuis. Artinya kebudayaan
disini tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan.
Setelah mundurnya Mao dari kursi
kepresidenan China setelah kegagalannya dalam program lompatan besar ke depan,
Mao masih tetap merupakan pemimpin tertinggi yang diagung-agungkan oleh rakyat.
Namun yang menjalankan pemerintahan adalah dari kaum pragmatis di bawah Liu
Shaoqi. Revolusi Kebudayaan dilancarkan pada tahun 1966 oleh Mao Tse-tung
sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat presiden Liu Shaoqi dan kliknya
yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Liu Shao
Qi dan Deng Xiao Ping melihat bahwa kegagalan Lompatan Jauh ke Depan
menunjukkan bahwa sosialisme orthodox yang dipegang Mao tidak lagi bisa
dipertahankan, oleh karena itu perlu adanya revisionisme seperti yang dilakukan
Uni Soviet. Gagasan ini sangat ditentang oleh Mao karena bertentangan dengan
ide Mao dan tentu akan berpengaruh pada legitimasi Mao. Revolusi Kebudayaan
merupakan gerakan anti kapitalisme. Selaku presiden RRC Liu Shao Qi memiliki
gagasan untuk melunakkan penindasan pemerintahan terhadap kehidupan sosial
ekonomi rakyat. Melalui program Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi (sanzi
yibao), Liu mengijinkan rakyat untuk mengerjakan tanah miliknya sendiri
serta memiliki usaha kecil untuk dijual ke pasar bebas. Hal ini membuat Mao
khawatir akan membangkitkan kapitalisme di China.
Di bidang seni dan sastra juga
terdapat kelonggaran dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada saat itu
tema-tema sejarah banyak digunakan untuk mengemukakan sindiran-sindiran
terhadap pemerintah dan Mao. Contohnya adalah drama tentang Mandarin Ming,
yaitu tentang seorang pejabat pemerintahan yang hidup pada Dinasti Ming
(1368-1644). Drama tersebut menceritakan mengenai keadilan dan keberanian Hai
Rui dengan mempertaruhkan nyawa dan memprotes Kaisar demi memperjuangkan nasib
rakyat yang menderita. Akibatnya Hai Rui kemudian dipecat dari jabatannya dan
dibuang. Drama Hai Rui ini dianggap merepresentasikan Marsekal Peng Dehuai yang
karena menyampaikan kritik terhadap Mao mengenai program Lompatan Besar Ke
Depan sehingga dipecat dan dihukum buang oleh Mao.
Gerakan Revolusi Kebudayaan itu
secara langsung mengenai isi seni, literatur, dan drama dengan menekankan bahwa
ekspresi kebudayaan harus menghormati nilai-nilai kebangsaan dan proletar dalam
masyarakat sosialis, menentang musush-musuh kelas dan asing, dan menolak
nilai-nilai tradisional China. Tujuan revolusi kebudayaan tersebut adalah untuk
memelihara ideologi komunisme, budaya, dan adat kebiasaan proletariat.
Komunisme merupakan satu-satunya kekuatan yang meliputi keseluruhan, mengontrol
penuh atas seluruh wilayah, tidak hanya tubuh tetapi juga pikiran. Revolusi
kebudayaan memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap partai komunis dan Mao Zedong.
Oleh karena itu unsur-unsur revisionis harus dihilangkan dan dibersihkan dalam
PKC. Tradisi dan budaya harus dihilangkan, seperti ajaran Konfusianisme dan
adat lama lainnya.
Langkah organisasional Mao selama
masa revolusi ini adalah dengan membentuk rantai komando pribadi yang
beroperasi di luar mesin partai, meskipun secara resmi menyatakan berada di
bawah politbiro dan komite pusat. PKC tidak dapat dijadikan sumber legitimasi
karena terdapat kubu Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping. Mao memobilisasi militer,
kaum intelektual radikal dan para pelajar. Mao juga menguasai media khususnya
Koran paling berpengaruh “harian rakyat”. Pada bulan Juni membuat serangkaian
editorial yang menganjurkan rakyat untuk menegakkan kekuasaan mutlak ketua Mao,
menyapu bersih semua setan, sapi, iblis, ular (musuh kelas) dan mendesak rakyat
agar mengikuti Mao dan bergabung dalam Revolusi Kebudayaan yang sangat luas dan
belum pernah ada sebelumnya.
James R Townsend (1997:186)
membagi Revolusi Kebudayaan dalam empat tahap. Mobilisasi tahap pertama dalam
Revolusi Kebudayaan berlangsung dari tahun 1965 sampai bulan Juni 1966. Dalam
periode ini kepemimpinan pusat saling bertikai dalam masalah bagaimana
menanggapi tuntutan Mao akibat berkembangnya pengaruh kaum revisionis. Kritik
terbuka dilancarkan terhadap sejumlah kecil intelektual dan propagandis partai
yang telah menyebarkan tulisan-tulisan anti Maois dalam tahun 1961 – 1962.
Selama bulan Juni dan Juli 1966, Revolusi Kebudayaan meluas menjadi
Tahap kedua adalah serangan
terbuka yang dilancarkan oleh kelompok Pengawal Merah yang berlangsung dari
bulan Agustus sampai bulan November 1966. Revolusi Kebudayaan dikawal oleh
Pengawal Merah yang didirikan oleh mahasiswa dan pelajar pada tahun 1966.
Pengawal Merah menjadi ujung tombak Revolusi Kebudayaan dan didukung oleh
Tentara Pembebasan Rakyat. Dengan dukungan kekuasaan resmi tersebut dan
ditutupnya kegiatan sekolah-sekolah, organisasi-organisasi Pengawal Merah
berkembang biak, membawa berjuta-juta pemuda turun ke jalan berdemonstrasi
mendukung ketua Mao Tse-tung, mengutuk dan meneror mereka yang digolongkan
sebagai lawan-lawannya, dan menghancurkan berbagai lambang kebudayaan „borjuis‟
atau reaksioner. Akan tetapi walaupun aksi-aksi mereka mengarah kepada ketaatan
yang hampir fanatik terhadap Mao, mereka tidak dapat menyingkirkan lawan-lawan
Mao dari kekuasaan.
Puncak Revolusi Kebudayaan
terjadi pada tahun 1967. Antara tahun 1966-1967 negara mengalami keadaan kacau
balau oleh tindakan Pengawal Merah yang secara bebas menyerang apapun juga.
Targetnya adalah pejabat-pejabat rendah dan menengah serta kader-kader partai.
Mereka mengecam siapapun yang berada dalam posisi pimpinan. Kecaman-kecaman
sering berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan karena hukuman
maupun bunh diri. Misalnya dosen atau petingi universitas dialihtugaskan ke
peternakan babi, dokter ahli dimutasi menjadi petugas kebersihan WC, atau
birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat. Dalam
pelaksanaannya Pengawal Merah membuat kekacauan di masyarakat dan menghambat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dibubarkan oleh Mao Tse-tung.
Tahap ketiga berlangsungnya
Revolusi Kebudayaan adalah perebutan kekuasaan yang berlangsung dari bulan
Desember 1966 sampai bulan September 1968. Gerakan tersebut meluas sampai ke
daerah pedalaman, perusahaan-perusahaan, dan pemerintahan serta partai.
Kelompok „pemberontak revolusioner‟ baru umumnya berasal dari masyarakat
pekerja, dan dengan demikian merupakan organisasi-organisasi massa yang lebih
luas daripada para pengawal Merah yang terdiri dari kaum mahasiswa dan pelajar.
Gagasan tentang „perebutan
kekuasaan‟ dari bawah merupakan serangan langsung terhadap wewenang dan
organisasi partai lokal. Golongan Maois di Peking menganggap pergolakan di
daerah-daerah ini sebagai suatu keharusan dan memang dikehendaki, tetapi mereka
dengan cepat membatasi gerakan ini.
Pada bulan Januari 1967
dikeluarkan instruksi bahwa TPR harus turut campur tangan dengan memberi
bantuan sepenuhnya pada pihak „kiri‟ dan menguasai fasilitas-fasilitas
komunikasi yang penting, transportasi, dan lain-lainnya. Akibatnya China berada
di bawah undang-undang keadaan perang, di mana TPR menjadi penguasa
administratif de facto dan sebagai penengah dalam sengketa-sengketa antar
daerah dan organisasi PKC lokal tidak berfungsi lagi dan bahkan organ-organ
partai sentral mengalami kemerosotan.
Pada bulan September 1968, para
komandan tentara dan para bekas kader menduduki posisi-posisi penting dalam
komite-komite baru, organisasi-organisasi massa dipecah belah dan ditindas, dan
para mahasiswa diperintahkan untuk kembali ke bangku sekolah atau bekerja di
daerah-daerah pedalaman. Akan tetapi organisasi partai masih terpecah belah dan
komite-komite revolusi tingkat propinsi telah terlanjur memperkuat wewenang
kekuasaan mereka atas daerah bawahannya.
Tahap keempat atau terakhir
adalah tahap konsolidasi, kepemimpinan China menyatakan kemenangan nominal dari
Revolusi Kebudayaan, tetapi mengakui pula bahwa pembangunan kembali partai dan
ekonomi serta struktur politik yang stabil masih harus dicapai.
Revolusi kebudayaan tidak memberi
kemenangan yang mutlak kepada golongan Maois. Kepemimpinan yang muncul pada
akhir kampanye masih merupakan suatu koalisi campuran dari
kepentingan-kepentingan yang berbeda. Revolusi Kebudayaan mengakibatkan
kira-kira separo dari elit politik sebelum tahun 1966 dipecat atau diturunkan
jabatannya. Dengan diangkatnya sejumlah besar pimpinan politik baru pada
jabatan-jabatan yang lebih tinggi, periode Revolusi Kebudayaan jelas merupakan
suatu periode mobilitas besar-besaran. Tokoh-tokoh militer paling banyak
mendapat keuntungan berupa kedudukan dalam Komite Sentral dan sebagian besar
posisi-posisi penting pada tingkat propinsi.
Agama
Agama merupakan faktor penting
dalam setiap sendi kehidupan manusia, karena agama merupakan sebuah petunjuk
jalan bagi manusia untuk mendapatkan ketenangan baik di dunia maupun di akhirat
kelak. Demikian halnya di China, agama merupakan sesuatu yang sakral. Ajaran
Konfusianisme yang pada mulanya merupakan suatu filsafat moral dalam
perkembangannya juga dianggap sebagai ajaran agama, bahkan pada beberapa
dinasti yang berkuasa di China, Konfusianisme dijadikan sebagai agama resmi
negara.
Selain Konfusianisme, di China
juga berkembang agama-agama lain yang masing-masing memperoleh tempatnya
sendiri. Ada Taoisme, Budhisme, juga aliran agama Katolik yaitu Nestorianisme
yang dibawa oleh pedagang Eropa ke wilayah China untuk disebarluaskan.
Nestorianisme berkembang pada masa kekuasaan Kekaisaran mongol pada abad ke-13
– 14 M. Pada masa pemerintahan Dinasti Ming dan Ching agama asing semakin
berkembang, ketika orang-orang Eropa banyak berdatangan ke China untuk
berdagang sekaligus menyebarkan agama Kristen Katolik dan Protestan.
Penyebarluasan agama Kristen Katolik dan Protestan ditempuh antara lain dengan
menyelenggarakan lembaga pendidikan bagi orang-orang Eropa yang tinggal di
China serta bagi orang-orang China yang tertarik pada agama tersebut.
Sejak komunis berkuasa pada tahun
1949 dan terutama sejak dilangsungkannya Revolusi Kebudayaan pada tahun 1976,
lebih dari separo penduduknya (59%) menjadi atheis atau tidak percaya Tuhan.
Sekitar 33% penduduknya percaya pada kepercayaan tradisi atau gabungan Taoisme
dan Budhisme. Penganut terbesar agama di negara ini adalah Budha Mahayana yang
berjumlah 100 juta orang. Di samping itu Budha Teravada dan Budhisme Tibet juga
diamalkan oleh golongan minoritas etnis di perbatasan barat laut Negara ini.
Selain itu diperkirakan terdapat 18 juta penduduk Muslim (Islam Suni) dan 14
juta jiwa penganut Kristen yang terdiri dari 4 juta penganut Kristen Katolik
dan 10 juta penganut Kristen Protestan.
Mao menganggap bahwa agama
termasuk Konfusianisme merupakan semangat budaya yang menentang kemajuan dan
mendukung feodalisme dan kapitalisme. Selanjutnya PKC memberikan tekanan
terhadap kelompok agama (aliran kepercayaan) dan melarang kelompok-kelompok non
pemerintah. Pada tahun 1950 PKC memerintahkan setiap pemerintah daerah untuk
melarang semua aliran kepercayaan yang tidak diakui dan organisasi-organisasi
yang dianggap illegal. Pemerintah menggerakkan kelompok untuk mengidentifikasi
dan menganiaya anggota kelompok religious. Pemerintah di berbagai tingkat
secara langsung terlibat membubarkan “kelompok-kelompok tahayul” seperti
komunitas Kristen Protestan, Kristen Katolik, Tao, Konfusian,dan Budha. Semua
anggota gereja, kuil, dan kelompok religius diwajibkan untuk mendaftarkan diri
ke agen-agen pemerintah dan mengaku bersalah atas aktivitas illegal yang mereka
lakukan. Pada tahun 1951, pemerintah secara resmi mengumumkan peraturan ancaman
yang mengatakan barang siapa yang melanjutkan kegiatan-kegiatan kelompok yang
tidak diakui pemerintah akan menghadapi penjara seumur hidup atau hukuman mati.
PKC melakukan pemeriksaan di
hampir setiap rumah tangga di seluruh negeri dan menginterogasi anggota
keluarga. Bahkan patung Dewa Dapur yang disembah oleh petani tradisional China
pun dihancurkan. Berdasarkan data yang kurang lengkap, diperkirakan pada tahun
1950 PKC telah menganiaya termasuk menghukum mati sedikitnya tiga juta penganut
kepercayaan dan kelompok-kelompok yang dianggap illegal, saju juta di antaranya
adalah orang Kristen.
Pada masa awal pemerintahan Mao,
China menanamkan ideologi mengenai pentingnya negara agar dibangun oleh rakyat
atau diri sendiri tanpa campur tangan asing. Mao menyatakan bahwa China harus
memiliki cara sendiri dalam pembangunan nasionalnya dan tidak mengikuti negara
lain.
Pada waktu mulai berkuasa Partai
Komunis melakukan pendekatan dua segi terhadap masalah agama Kristen. Di satu
sisi memberikan kebebasan kepada orang-orang China yang masuk Kristen, di sisi
lain mengusir hampir semua misionaris asing setelah memperlakukan mereka dengan
buruk. Dominasi gereja-gereja sedunia oleh orang Eropa semakin diperjelas
ketika Vatikan tidak mengakui uskup-uskup bangsa China yang diangkat oleh
Partai, sehingga para pengikut gereja merasa tidak direstui Paus karena
beribadah di bawah uskup-uskup yang diangkat setempat bukan oleh Vatikan.
Partai Komunis China memerintahkan imam-imam yang masih bebas di daratan untuk
menyatakan ketidaktergantungan mereka dari Vatikan. Gereja-gereja di China
tidak boleh berhubungan dengan gereja-gereja di luar RRC. Hal ini bertujuan
untuk membebaskan gereja China dari imperialism kebudayaan dan pengaruh asing.
Hal ini juga mengakibatkan
terputusnya hubungan antara China dengan Vatikan. China beralasan bahwa di
belakang Vatikan ada kepentingan Barat untuk mempengaruhi China. Vatikan
sendiri tidak sepaham dengan Partai Komunis dan akhirnya Vatikan menolak untuk
mengakui pemerintahan yang baru di Cina. Perwakilan Vatikan yang ada di China
diitutup pada tahun 1951. Mao menolak untuk mengangkat kembali perwakilan
Vatikan di China karena tidak ada kesepahaman di antara kedua belah pihak.
Hal ini menyebabkan agama Katolik
sebagai institusi keagamaan di China mulai mengalami penindasan. Pemerintahan
China menetapkan agar masyarakat China dan semua kegiatannya tidak boleh
dicampurtangani atau dipengaruhi oleh pihak asing. Pemerintah meminta agar
masyarakat Katolik China tetap setia hanya kepada Negara China dan semua
kegiatan keagamaan harus dilaksanakan di tempat-tempat ibadah yang telah
mendapat izin dari pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa orang Katolik China
adalah kaum anti revolusi dan anti komunis yang pro-Barat. Beribadah di tempat
ibadah dilarang, dan banyak tempat ibadah secara sepihak ditutup dan
diruntuhkan oleh pemerintah. Satu-satunya tempat ibadah yang masih
diperbolehkan adalah Katedral Nantang, Beijing dan hanya masyarakat asing atau diplomatic
community yang mendapat izin beribadah (Alan Hunter and Kim-Kwong Chan,
1993:238).
Contoh nyata lain dari
pengekangan gereja-gereja di China adalah peraturan yang mewajibkan gereja
untuk tidak menyelenggarakan pendidikan atau sekolah. Hal ini terkait dengan
ideologi komunis itu sendiri yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat,
oleh karena itu gereja dilarang untuk mencampuri urusan pendidikan karena di
setiap pelajarannya terkandung misi agama.
Selama masa Revolusi Kebudayaan
kuil-kuil Budha, Masjid Islam, dan Gereja Kristen hampir tidak berfungsi di
berbagai daerah di China. Pada akhir tahun 1970-an beberapa gereja dibuka
kembali, utamanya di kota-kota besar yang banyak dikunjungi orang asing seperti
Kanton dan Shanghai. Orang China yang beragama Kristen yang datang beribadah
semakin meningkat meskipun tidak terlalu signifikan.
Pendidikan
Dalam sejarahnya pendidikan
merupakan hal penting yang telah berlangsung lama di China, bahkan banyak dari
pemikiran Konfusius tentang pendidikan yang masih sangat relevan dengan keadaan
saat ini.
Sejak tahun 1949 kebijakan
pendidikan di China yang diambil adalah penggunaan pendidikan sebagai sarana
untuk menanamkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai baru guna membangun
masyarakat sosialis revolusioner. Bentuk dan isi pendidikan tanpa terkecuali
terjalin dengan perubahan kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi. Pada
bulan Oktober 1951 pemerintah merumuskan “Reformasi Sistem Pendidikan” untuk
menyediakan pendidikan formal yang menekankan pada pelatihan teknik dan
pembelajaran nilai-nilai sosialis yang baru. Hal ini sejalan dengan kebutuhan
orang-orang yang cakap untuk melaksanakan Rencana Lima Tahun Pertama
(1953-1957). Kesempatan pendidikan di waktu luang juga disediakan bagi para
pekerja dan petani untuk dilatih sebagai pekerja semi terampil (Wang,1976:
242-243).
Tujuan pendidikan pada tahun
1958, sejalan dengan penekanan dalam bidang pertanian, adalah membantu komune
meningkatkan produksi pertanian. Kurikulum tambahan pada pendidikan sekolah
menengah di pedesaan meliputi studi politik, ideologi, dan aritmatika.
Kurikulum sekolah kejuruan paro waktu di pedesaan mengajarkan reparasi mesin
dan mengemudikan traktor. Untuk mengatasi masalah urbanisasi pemerintah
menerapkan dua perubahan mendasar dalam kebijakan pendidikan, yaitu mengurangi
jumlah sekolah kejuruan paro waktu dan semua lulusan sekolah dasar dan menengah
yang tidak bekerja di pabrik dan atau melanjutkan ke sekolah tinggi teknik atau
universitas diarahkan pergi ke desa dan bekerja di sektor pertanian.
Leo Orleans mengidentifikasikan
lima tipe lembaga pendidikan tinggi di China sebelum masa Revolusi Kebudayaan
(Wang, 244). Pertama, universitas komprehensif yang setara dengan
universitas-universitas di Amerika dengan masa studi 4 tahun. Kedua, lembaga
politeknik, misalnya Universitas Qinghua di Beijing. Tipe ketiga sampai kelima
berkembang selama dan sesudah Lompatan Jauh, yaitu Perguruan Tinggi
Spesialisasi yang terorganisir secara vokasional, perguruan tinggi paro waktu
yang dikontrol perusahaan untuk para pekerjanya, dan perguruan tinggi bagi
pekerja dan petani yang berkualitas rendah.
Sebelum Revolusi Kebudayaan
sistem pendidikan universitas di China meniru system Eropa yang sangat formal
dan kaku. Dosen memberikan kuliah di kelas tanpa kesempatan tanya jawab atau
interaksi antara dosen dan mahasiswa. Pada masa Gerakan Lompatan Jauh ke Depan
sistem pendidikan di China bisa dikatakan tidak berjalan sama sekali. Selama
masa itu bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan terbengkelai
karena rakyat massa yang dikerahkan secara total dalam kerja kasar termasuk
para guru dan sarjana.
Pada awal Revolusi Kebudayaan,
antara 1966-1968, selama dua tahun semua sekolah (tingkat dasar hingga
perguruan tinggi) ditutup. Ketika dibuka lagi, ditetapkan masa sekolah untuk
sekolah dasar dan sekolah menengah yang semula 12 tahun diperpendek menjadi 9
tahun. Dalam system yang baru ini guru dilarang menahan kelas si murid karena
tidak lulus ujian. Semua murid/mahasiswa pasti naik kelas/tingkat. Sistem ujian
dianggap penindasan oleh mereka yang berkuasa (guru/dosen) terhadap mereka yang
lemah (murid). Untuk masuk universitas juga tidak diperlukan ujian saringan.
Mahasiswa baru dipilih oleh dirinya sendiri atau oleh massa atau karena adanya
rekomendasi pimpinan partai. Maksudnya adalah untuk memberi kesempatan bagi
orang muda yang berlatar belakang “social revolusioner” duduk di bangku kuliah,
yaitu kaum buruh, petani miskin, dan petani menengah bawah. Masa belajar di
universitas juga diperpendek menjadi tiga tahun. Isi pokok dari kurikulum
ditentukan oleh komite revolusioner dan itu adalah Pikiran Mao Zedong.
Pendidikan di bidang ilmu dan teknologi dianggap tidak penting, sementara
ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik dianggap “ilmu kelas borjuis” yang harus
dijauhi (I Wibowo, 2000:238).
Sejak tahun 1971 keadaan menjadi
normal menurut versi Mao. Sekolah dan universitas dibuka kembali dengan syarat
hanya buruh dan petani yang boleh belajar.
Seni
Pemerintahan Mao membentuk
lembaga sistem sensor yang diterapkan dengan sangat ketat terhadap penerbitan
buku-buku. Mao Talks Yan’an (Ceramah-ceramah Yan‟an mangenai Sastra dan
Seni) diterapkan sebagai pedoman agar
penulisan menggunakan gaya realisme sosialis. Mao juga menggariskan asas bahwa
penulis-penulis harus mengabdi kepada perjuangan politik yang agung dan
bukannya mencari kepuasan diri atau ketenaran melalui keunggulan sastra. Dengan
berbagai larangan dan pembatasan tidak mengherankan bahwa China tidak banyak
menghasilkan kesusastraan modern yang memiliki daya tarik selain daya tarik
akademis.
Pada masa Lompatan Jauh ke depan
pemerintah mendesak para penulis untuk menggunakan realisme sosialis yang
dikombinasikan dengan realisme revolusioner yang disebut romantisme
revolusioner. Penulis diijinkan untuk menulis mengenai China periode
kontemporer atau periode lainnya asal menggunakan realisme sosialis
revolusioner seperti yang diinginkan pemerintah.
Penggunaan kesusastraan sebagai
wahana pengajaran politik mencapai puncaknya pada masa Revolusi Kebudayaan.
Novel-novel, cerita pendek dan drama yang diijinkan pada masa ini kebanyakan
mengikuti pola yang sudah ditentukan. Sastra pada masa ini menggambarkan
tokoh-tokoh secara hitam-putih, bahwa pahlawan harus sempurna dalam ideologi,
motif, dan tindakan, penuh keberanian, tidak pernah menipu; sebaliknya penjahat
harus penuh keburukan dengan latar belakang kelas yang mencurigakan atau nista,
dan digerakkan oleh perasaan dendam dan iri hati. Tidak ada tokoh
„tengah-tengah‟ yang mungkin menunjukkan permainan halus antara kesusilaan dan
kepentingan diri sendiri. Penjahat selalu tidak dapat diperbaiki dan akhirnya
dieksekusi atau dihukum seumur hidup. Perang senantiasa digambarkan secara
gemilang dan romantik, dan pahlawan-pahlawan memperoleh kemenangan demi
kemenangan.
Opera, film dan panggung teater
didominasi produksi Madam Mao. Film-film China di masa 1958-1965 isinya bernada
lembut dan sentimental atau bernada menggugah semangat „kekerasan‟ kalau pun
ada disajikan secara halus seperti dalam opera China. Kebanyakan merupakan film
propaganda. Misalnya Haixia, sebuah film yang berkisah tentang bayi di
keranjang yang ditemukan oleh pasangan yang lantas hidup sengsara. Kampungnya
diserbu tentara Kuomintang pimpinan Chiang Kai Shek, keluarganya disiksa dan
dibunuh. Kesengsaraan itu berakhir ketika Tentara Pembebasan Rakyat berhasil
menyelamatkannya, dan kemudian hidup bahagia.
Sepanjang masa Revolusi
Kebudayaan banyak aspek budaya tradisi China meliputi seni lukis, peribahasa,
bahasa, dan sebagainya yang dicoba untuk dihapuskan oleh pemerintah komunis
China. Seni-seni budaya tersebut oleh pemerintah dianggap bersifat kolot,
feudal, dan berbahaya.
Selama revolusi kebudayaan,
represi dan intimidasi yang dipimpin oleh istri keempat Mao, Jiang Qing,
berhasil menghentikan semua aktivitas budaya kecuali beberapa opera dan novel
heroik seperti Hao Ran, seorang novelis ekstrem kiri. Seni dan buku-buku
diawasi dengan ketat oleh negara. Meskipun beberapa penulis masih terus
memproduksi secara rahasia, pada saat itu tidak ada karya sastra yang secara
signifikan diumumkan. Buku-buku yang tidak sesuai dengan semangat revolusioner
dihancurkan, sehingga pada masa Revolusi Kebudayaan banyak dilakukan pembakaran
buku terutama oleh Pengawal Merah. Kategori buku tersebut antara lain buku-buku
klasik China, dan terdapat juga buku-buku karya Shakespeare, Charles Dickens,
Byron, Shelley, Shaw, Thackeray, Dostoyevsky, Turgenev, Chekov, Ibsen, Balsac,
Maupassant, Flaubert, Dumas, Zola, dan buku-buku klasik lainnya.
Film, sandiwara, dan konser
dilarang. Jiang Qing, istri Mao, telah melarang semua panggung dan gedung bioskop
beroperasi, dan hanya delapan „opera revolusioner‟ ciptaannya yang sangat
politis yang boleh dipergelarkan. Opera Peking yang sebelumnya digemari
masyarakat dan sandiwara-sandiwara karya Shakespeare dan Moliere dilarang
dipergelarkan. Di tingkat propinsi rakyat bahkan tidak berani mempergelarkan
tontonan itu. Seorang sutradra dikecam karena rias wajah yang dipakaikan pada
pahlawan yang disiksa dalam salah satu opera itu dianggap berlebihan oleh
Nyonya Mao. Sutradara itu dijebloskan ke penjara dengan tuduhan
„melebih-lebihkan penyiksaan dalam perjuangan revolusi‟ (Jung Chang, 2005:
377). Di awal tahun 1974 dilancarkan kampanye besar-besaran mencela sutradara
film Italia, Michelangale Antoniaoni karena film yang dibuatnya mengenai China.
Xenophobia atau kebencian terhadap orang asing meluas sampai ke musik-musik
klasik asing, misalnya Beethoven setelah Philadelphia Orchestra mengadakan
pergelaran musik di China.
Pemerintah komunis juga melakukan
serangan terhadap musik klasik Barat, yaitu musik yang „tidak mewakili‟. Musik
Tiongkok biasanya mempunyai tema deskriptif atau simbolis, misalnya mengenai
pertempuran, perasaan duka cita, sungai di gunung, angsa-angsa beterbangan, dan
sebagainya. Beberapa pemusik atau pianis dipotong jarinya oleh Tentara Merah.
Seni lukis juga harus
mencerminkan lukisan dengan semangat revolusioner. Tema-tema nonpolitis seperti
bunga-bungaan, ikan mas atau pemandangan alam mendapat kecaman. Lukisan
biasanya dihiasi dengan gambar bendera merah kecil atau cerobong asap pabrik,
traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik yang dianggap harus
ada dalam seni periode Revolusi Kebudayaan.
Dalam gaya hidup keseharian, kaum
perempuan tidak boleh lagi berambut panjang dan berdandan sesukanya. Bila
ketahuan maka rambut mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan
dirobek di depan umum. Bentuk pakaian di China seragam dan monoton (Bonavia,
1987: 164). Pada umumnya busana yang dikenakan adalah model jas dan celana
panjang longgar berwarna abu-abu, biru, dan hitam. Pada musim panas para gadis
diperbolehkan mengenakan blus dan rok sampai di bawah lutut, dan pada musim
dingin dapat mengenakan jaket berlapis tebal dengan warna-warna tidak mencolok.
Gaya hidup masyarakat tidak menunjukkan adanya keinginan untuk mencari kekayaan
atau benda-benda materi lainnya.
BAB III
PENUTUP
Republic rakyat Cina
diproklamasikan pada tanggal 1 Oktober 1949 merupakan awal dari perpolitikan
cina modern, meskipun perpolikan cina modren sudah dimulai sejak tahun 1911
ketika runtuhnya dinasty ching. Dan tidak dapat dipungkiri Soviet dengan
pahamnya mempunyai peranan yang sangat penting demi kelangsungan komunisme Cina
kedepannya.
Dari tahun 1949
ketika PKC menjadi pemegang kekuasaan banyak terjadi pertentangan-pertentangan
yang menyertai kebijakan yang di terapkannya, tapi seiring berkembangnya jaman
PKC juga mampu membuat kebijakan-kebijakan yang mampu menjaga pemerintahannya
dan mempu membuat “Cina Baru”.
Semenjak tahun 1949
atau semenjak PKC menjabat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi jurang
kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat dapat di perkecil.
DAFTAR PUSTAKA
Darini, ririn. 2010. Garis Besar Sejarah China Era Mao.
Yogyakarta
http://rukawahistoria.blogspot.com/2010/02/rrc-1949-1969-part-ii-html.
Mas’oed,Mohtar
dan Macandrew, Colin. 2008. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta. GADJAH
MADA UNIVERSITY PRESS
Wibowo,
I., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.